Rabu, 18 Mei 2016

Mind entanglement mungkin merupkan bukti awal adanya karma

Sebuah eksperimen dilakukan di Amsterdam, yaitu dengan mempertemukan 2 orang,  kemudian 2 orang ini dipisahkan dalam 2 kompartmen yang berjauhan dan kedap gelombang elektromanegnetik. 
Kemudian salah seorang subjek distimulasi sengatan listrik dengan intensitas dan jedah waktu tertentu,  sedang subjek yang satu lagi tidak mengalami stimulasi apapun.
Ilmuwan pada percobaan ini bukan hendak menyelidiki telepati atau sejenisnya, mereka hanya tertarik mengamati pattern pada gelombang otak kedua subjek.
Hal yang tidak biasa terjadi.  Walaupun subjek kedua yang pasif tidak merasakan apapun,  namun gelombang otaknya berkata lain,  gelombang ini mempunyai polah yang serupa dengan subjek pertama yang mengalami stimulasi,  bahkan tepat bersesuaian dengan jedah waktu pada subjek pertama. 
Para ilmuwan saat ini benar-benar mendekati kesimpulan bahwa otak kita bisa mengalami quantum entanglement wow.
Ajarin Buddhist di barat sering disebut 'spekulasi' namun mengherankan 2,5 milenia lalu sang Buddha sudah mengatakan bahwa dunia ini maya atau ilusi atau hanya seperti impian. Dan sekarang sejak adanya string theory,  alam semesta ini sering disebut ilusi atau hologram.
Mengenai pikiran sang Buddha sering menyebutkan tentang kesunyataan atau non duality,  dan sejak istilah ruang waktu dan quantum entanglement istilah seperti non locality dan non duality seakan menjadi istilah fisika terkini.
Dan yang terbaru tentang quantum entanglement pada otak,  theravada school sudah sering membicarakan cara hukum karma berlaku yang salah satunya memang berkaitan langsung dengan pikiran dan otak kita,  saya pikir ini bisa menjadi titik awal yang menarik dalam pembuktian karma secara iptek.

Saya pikir kita mungkin harus mulai tidak lagi mengatakan spekulasi sang Buddha dengan ajaran beliau yang selalu tepat sasaran menghadapi pisau empiris dari iptek. Dengan kira-kira 2/3 ajaran Buddha saat ini yang bertepatan dengan iptek,  saya memperkirakan tidak lama lagi kita akan mulai dapat membuktikan tumimbal lahir dan aliran kesadaran yang selama ini tidak disepakati oleh iptek. Theravada school sudah sedari awal mengatakan bahwa proses tumimbal lahir tidak mengenal jarak dan waktu,  dan saat ini kita tahu bahwa quantum entanglement mempunyai sifat tepat sama tentang hal itu. Saya rasa anda dapat berharap banyak dari ajaran sang Buddha apalagi ajaran beliau juga bersifat welas asih dan pasifis,  ajaran yang akan bersesuaian dengan tikkun olam.
Ajaran Buddha mempunyai karakter Ehipasikko yang artinya mengundang untuk diuji kebenarannya. Inilah mukjijat terbesar dari sang Buddha yang membabarkan sifat alam semesta hanya dengan duduk bermeditasi di bawah pohon Boddhi,  selamat Waisak,  sadhu..sadhu..sadhu

Kamis, 08 Januari 2015

Sebaiknya kematian tetap menjadi misteri



Ilmu pengetahuan telah merambah semua bidang, termasuk bidang-bidang yang bersinggungan dengan agama dan spiritual, kematian.
Kematian dalam banyak budaya merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan, apalagi dipraktekkan. Namun film, serta media online talah membuatnya dekat. Disadari atau tidak, kematian adalah hal terbesar dalam hidup ini, karena hidup yang telah menjadi “kebiasaan” kita sehari-hari dalam hal ini “diakhiri”, stop, tidak ada cerita lanjutannya setelah itu. Benar-benar dreadful ketika kita bayangkan terjadi pada diri kita sendiri, it’s very interesting, coz most dreadful thing of all, yet we are all deserve to face it once for each of us without exception in anytime,
any place.
Agama dan kepercayaan telah meyakinkan kita seperti apa after life  itu. Seyakin apapun kita terhadapnya, kita tetap saja memilih hidup, bukankah demikian. George Soros di salah satu bukunya mengatakan, kita tidak boleh prejudice atau pun takut pada kematian, mengingat tidak satupun orang yang benar-benar dan meyakinkan bangkit dari kematian, artinya bisa jadi after life itu ternyata lebih indah dari hidup kita di bumi ini, it’s just matter of probability.
Ilmu pengetahuan dengan tangan dinginnya, suatu hari mungkin saja berhasil memecahkan misteri terbesar ini. Jika hasilnya menyedihkan itu justru akan menjadi berita yang bagus, karena apa? Karena kita akan menyayangi keberadaan kita saat ini. Namun sebaliknya jika afterlife itu jauh lebih menyenangkan daripada hidup di bumi ini, it could be disaster for life on earth, why? Setiap orang akan berlomba untuk mati. Jika mati sudah worth beyond life purpose, kita tidak perlu membunuh lagi, hahaha..untuk apa? Lebih baik bunuh diri. Ini kelihatannya absurd, namun iptek punya kekuatan dahsyat, mungkin yang paling dahsyat untuk saat ini. Ini sama saja dengan kenyataan kita tetap saja naik pesawat terbang untuk bepergian jauh, walaupun ada bahayanya , kenapa kita tidak naik sapu terbang atau angsa terbang misalnya.
Pesannya hidup ini berharga, isilah dengan segala hal yang berharga pula, jangan menyakiti apapun jika tidak ingin disakiti oleh apapun.
In memoriam: korban jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di Selat Karimata minggu 28 Desember 2014, 6.14am, may your souls rest in peace in the land and in the sea, amen.

Kamis, 04 Desember 2014

Ohr Ein Sof VS Amitabha



It’s interesting to compare these two religion important terms. Both have same meaning “Unlimited Light”. How come two unrelated religions could get same idea? This even more interesting due to many believers of mixed religion called Jubu or Buju. My private theory is these two traditions indeed have some similiarity from the beginning. These two religions had given birth several pinnacles of modern human civilization and also technology.
Amitabha Buddha is celestial Buddha who possess pure land, the land of Buddhahood. In Mahayana Buddhist, Amitabha has God like position comparable to western tradition, this fact sometimes opposite to the previous tradition, which famous quote “There is no God in Buddhism”.
The opposite also happen in Ohr Ein Sof, which come from Kabbalah tradition of Judaism. Judaism the forerunner of monotheistic  religions, had one God. The God which has personality, favour, will and power. But Ohr Ein Sof, God prior to His self manifestation, is sometimes depict as Zen like circle, none personification.
My theory is the Kabbalah tradition could come from analytical and geniusness of ancient Jew, who need more explanation for the existence of God. It similiar with modern chemist curious to know beyond water there is H2O, beyond H2O there are Hydrogen and Oxygen, beyond atoms there are sub atoms and so on. Buddhist tradition in fact was pure analytical from the beginning, then Mahayana tradition started to think God like Buddha who could be worshiped, hear our pray, and help us in our  misery, and come up  with Amitabha Buddha. These two reality just opposite, interesting.
And like scientists who study on the same object, they also come to the same conclusion, in the beginning there was Nothing. End.

Sabtu, 22 November 2014

Mimpi mungkin dapat membuka misteri parallel universe

Baru-baru ini seorang ahli fisika telah memunculkan spekulasi baru, bahwa parallel universe (semesta paralel) mungkin ada di semesta yang sama dengan kita sekarang, namun secara fisika saat ini kita tidak dapat berhubungan dengan semesta paralel tersebut.
Di benak saya sendiri terbesit spekulasi yang lebih liar lagi, bahwa mimpi mungkin adalah bentuk komunikasi antar semesta ini. Dengan berhasil dibuktikannya teori quantum entanglement, seolah-olah sebuah kotak pandora telah dibuka, segala macam pemikiran liar menjadi mungkin, teori fisika bisa menjadi new age spirituality, benar-benar gila.
Saya berspekulasi, mimpi merupakan bentuk koneksi sesaat antar semesta. Di dalam mimpi apapun bisa terjadi dan kelihatan nyata sekali. Umpamanya kita bisa terbang, bisa berenang seperti ikan, dan lain-lain, yang tidak mungkin terjadi di dunia "yang ini". Menurut saya di semesta lain itu kita bisa terkonek dengan apa saja, pada saat kita bermimpi terbang, mungkin kita terkonek dengan seekor burung di semesta "sana". Demikian juga kita bisa menjadi ikan, atau mahluk yang lain di sana. Mimpi memang bisa make a sense atau sama sekali absurd, tidak ada yang aneh kalau itu semua mungkin merupakan keadaan di semesta "anta beranta" yang hukum fisikanya sama sekali berbeda dengan semesta kita. Antara kita dengan semesta yang tetangga itu sebenarnya hanya dibatasi oleh tabir tipis, yaitu momen kolaps nya fungsi gelombang (wave function collapse) dimana banyak kemungkinan termaterialisasi menjadi realitas "yang ini", itulah momen, yang biasa kita romantisasi kan menjadi "one moment in life" atau sebuah momen dalam kehidupan (cieh romantis banget).
Dari pembabaran saya ini, ada benang merah yang kuat antara momen dan mimpi, mungkin itulah sebabnya ketika kita menyesal tidak berani menangkap momen berkenalan dengan wanita di bangku seberang saat naik angkot, kita membawanya dalam mimpi, dengan memimpikan kita bergandengan tangan dengan wanita tersebut, bisa jadi memang itulah yang terjadi di semesta "seberang".
Pesan saya, hiduplah secara full (jadi teringat ama mbah Surip, hihihi) moment by moment without regret, then you have the chance being more than life.. :) okay.
Terakhir saya tambahkan ucapan terkenal dari Zhuangzi, filosof terkenal China dari milenia yang lalu :

Once upon a time, I, Zhuangzi, dreamt I was a butterfly, fluttering hither and thither, to all intents and purposes a butterfly. I was conscious only of my happiness as a butterfly, unaware that I was ZhuangziNow I do not know whether I was then a man dreaming I was a butterfly, or whether I am now a butterfly, dreaming I am a man.
Suatu hari, aku, Zhuangzi, bermimpi aku adalah kupu-kupu, terbang ke sana kemari, seperti laiknya kupu-kupu. Saya sadar dengan penuh kebahagiaan sebagai kupu-kupu, tanpa menyadari bahwa aku Zhuangzi. Sekarang aku tidak tahu apakah aku adalah seorang pria bermimpi aku kupu-kupu, atau apakah saya sekarang kupu-kupu, bermimpi aku seorang laki-laki.